Dalam bisnis di era digital saat ini, istilah ‘Helpdesk’ dan ‘Service Desk’ sering digunakan secara bergantian. Jika kita gali lebih dalam, keduanya memiliki perbedaan yang signifikan. Perbedaan ini meskipun mungkin tampak teknis dan remeh bagi beberapa orang, sangat penting dalam memahami bagaimana suatu organisasi menangani aktivitas dukungan terhadap produk dan layanan yang disediakan kepada penggunanya. Kegagalan dalam memahaminya berarti akan berakibat pada kegagalan dalam mengelola layanan (Service Management).
Helpdesk dalam Konteks Layanan Berbasis IT dan NON-IT

Dalam konteks layanan berbasis teknologi, helpdesk dalam definisi tradisionalnya, adalah pusat bantuan yang didirikan untuk memberikan dukungan teknis kepada pengguna akhir. Biasanya, helpdesk akan membantu dalam mengatasi masalah-masalah teknis yang dihadapi oleh pengguna, seperti masalah perangkat keras, perangkat lunak, atau koneksi jaringan. Pendekatannya seringkali bersifat reaktif; mereka merespons ketika ada masalah yang dilaporkan.
Dalam konteks layanan diluar IT, helpdesk sering kali diartikan sebagai titik kontak pertama bagi pengguna atau pelanggan yang membutuhkan bantuan atau dukungan. Sebagai contoh, dalam konteks perhotelan, helpdesk bisa berupa counter layanan di lobi yang membantu tamu dengan permintaan khusus atau pertanyaan. Di rumah sakit, helpdesk mungkin adalah meja informasi di mana pasien dan keluarganya dapat meminta arah atau informasi lainnya.
Esensi dari Helpdesk, baik dalam konteks IT maupun diluar IT, adalah memberikan respons cepat terhadap kebutuhan atau masalah yang dihadapi oleh pengguna atau pelanggan.
Service Desk dalam Konteks Layanan Berbasis IT dan NON-IT

Service Desk, di sisi lain, memiliki cakupan yang lebih luas. Selain memberikan dukungan teknis, Service Desk juga fokus pada manajemen layanan keseluruhan yang diberikan kepada pengguna. Ini mencakup dukungan teknis, manajemen insiden, permintaan layanan, manajemen masalah, hingga perubahan dan pembaruan sistem. Pendekatannya lebih proaktif, berupaya mencegah masalah sebelum terjadi dan memastikan bahwa semua layanan IT berjalan dengan lancar dan efisien.
Bagaimana dalam konteks NON-IT? Sama seperti dalam konteks IT, Service Desk dalam konteks NON IT juga memiliki ruang lingkup yang lebih luas dibandingkan dengan Helpdesk. Selain menangani masalah atau pertanyaan, Service Desk juga bertanggung jawab untuk memastikan kualitas layanan keseluruhan yang diberikan kepada pengguna.
Sebagai ilustrasi, dalam industri perbankan, Service Desk bisa berfungsi sebagai tim yang tidak hanya menangani keluhan pelanggan, tetapi juga memberikan informasi tentang produk bank, membantu pelanggan dalam memilih layanan yang paling sesuai dengan kebutuhannya, dan bahkan memberikan saran keuangan.
Service Management: Mengatur Seluruh Layanan Organisasi
Service Management, baik dalam konteks IT maupun non-IT, adalah tentang bagaimana merancang, mengatur, dan meningkatkan layanan yang diberikan kepada karyawan, pelanggan, dan stakeholder lainnya. Ini memastikan bahwa layanan yang diberikan sesuai dengan standar yang ditetapkan dan memenuhi kebutuhan yang ada. Service Management akan memastikan integrasi antara berbagai departemen dan fungsi layanan, mengoptimalkan proses dan memastikan kualitas layanan tetap terjaga.
Mengapa Perbedaan Ini Penting?
Dari sudut pandang pengguna, perbedaan antara Helpdesk dan Service Desk ini sangat vital. Sebagai contoh dalam konteks IT, saat seorang pengguna menghadapi masalah dengan perangkat lunak tertentu, mereka mungkin hanya membutuhkan solusi cepat dari Helpdesk. Namun jika masalah yang sama terus muncul, atau jika ada kebutuhan untuk perubahan layanan atau peningkatan, Service Desk menjadi tempat yang lebih tepat untuk mendiskusikannya.
Begitu juga dalam konteks NON IT. Dengan mengadopsi konsep Helpdesk dan Service Desk, organisasi NON IT dapat memberikan layanan yang lebih terstruktur dan efisien kepada penggunanya. Konsep ini memungkinkan organisasi untuk lebih responsif terhadap kebutuhan pelanggan, memastikan kualitas layanan yang konsisten, dan meningkatkan kepuasan pelanggan.
Service Desk memastikan bahwa layanan IT disediakan sesuai dengan kebutuhan dan harapan pengguna. Mereka berfokus pada pengalaman keseluruhan pengguna, bukan hanya saat ada masalah. Ini berarti, dengan Service Desk, pengguna dapat mengharapkan layanan yang lebih konsisten, handal, dan sesuai dengan kebutuhan bisnis mereka.
Memanfaatkan Helpdesk dan Service Desk adalah langkah awal dalam mendukung pengguna, tetapi Service Management membawa integrasi dan optimalisasi ke tingkat berikutnya. Dalam konteks Service Management, perhatian tidak hanya pada penyelesaian masalah individu atau permintaan layanan, tetapi pada bagaimana menyelaraskan dan mengoptimalkan seluruh portofolio layanan untuk memberikan nilai maksimal kepada organisasi.
Service Management bertanggung jawab untuk merancang, mengelola, dan terus-menerus meningkatkan proses dan layanan, dengan tujuan memastikan bahwa seluruh organisasi mendapat manfaat dari mereka. Ini mencakup pemantauan dan analisis kinerja layanan, mengidentifikasi peluang untuk inovasi dan peningkatan, serta memastikan bahwa layanan tetap relevan dan sesuai dengan kebutuhan yang berubah-ubah dari organisasi.
Selanjutnya, Service Management memiliki peran penting dalam memastikan bahwa layanan yang disediakan, baik IT maupun non-IT, benar-benar memenuhi kebutuhan dan harapan pengguna. Ini berarti memastikan bahwa SLAs (Service Level Agreements) terpenuhi, risiko diidentifikasi dan dikelola, dan bahwa ada aliran komunikasi yang efektif antara tim layanan dan stakeholder lainnya.
Dalam dunia non-IT, ini bisa berarti memastikan bahwa layanan dukungan karyawan, seperti pelatihan, perekrutan, atau fasilitas, memenuhi standar kualitas yang diharapkan dan memenuhi tujuan strategis organisasi. Ini bisa juga mencakup pengoptimalan layanan pelanggan, logistik, atau operasi lainnya yang kritis untuk kesuksesan organisasi.
Sedikit bercerita, penulis juga pernah menyaksikan suatu fenomena yang cukup mengejutkan di salah satu organisasi skala menengah: Pimpinan tertinggi di departemen IT ternyata tidak memiliki pemahaman yang jelas mengenai perbedaan antara Helpdesk, Service Desk dan Service Management. Lebih dari itu, organisasi tersebut bahkan belum memiliki IT plan dan IT blueprint yang konkret. Bayangkan di era digital saat ini, di mana transformasi digital menjadi hal yang krusial, organisasi tersebut berjalan tanpa peta atau kompas digital. Ini bukan hanya mengejutkan, tetapi tentunya juga memprihatinkan. Kehadiran sebuah IT plan yang solid dan pemahaman yang jelas terhadap struktur layanan IT adalah fondasi penting bagi sebuah organisasi yang ingin meraih keberhasilan dalam era transformasi digital. Tanpa fondasi tersebut, organisasi mungkin akan kesulitan menghadapi tantangan masa depan dan memanfaatkan peluang yang ditawarkan oleh teknologi digital.
Menghargai Kekuatan Feedback dalam Service Management
Dalam dunia yang terus berubah, di mana teknologi memainkan peran penting dalam setiap aspek bisnis, kualitas layanan menjadi hal yang tak terelakkan. Service Management (SM) adalah fondasi yang memastikan bahwa layanan berfungsi sebagaimana mestinya, memenuhi kebutuhan bisnis dan meningkatkan nilai bagi pengguna akhir. Pertanyaannya apakah kita benar-benar memahami apa yang diinginkan oleh pengguna kita? Adakah cara lain untuk mendengar suara mereka, bahkan ketika mereka tidak ‘berbicara’?
Sebagian besar dari kita akrab dengan feedback verbal – komentar, keluhan, atau pujian yang langsung diungkapkan oleh pengguna. Namun, ada bentuk komunikasi lain yang sering kali lebih kuat tetapi cenderung diabaikan: feedback non-verbal. Ini adalah pesan yang disampaikan tanpa kata-kata, melalui tindakan, perilaku, atau reaksi tertentu saat berinteraksi dengan layanan kita.
Kini pertanyaannya adalah: Bagaimana kita, sebagai pelaku di dunia Service Management, dapat mendengar dan memahami feedback non-verbal ini? Sekali lagi, ini adalah di mana User Experience (UX) berperan. UX bukan hanya tentang estetika atau tampilan suatu produk, tetapi lebih dalam lagi: memahami pengguna, mengidentifikasi kebutuhan mereka, dan mendesain solusi yang memenuhi kebutuhan tersebut dengan cara yang paling efektif. Dengan menggabungkan prinsip-prinsip UX ke dalam Service Management, kita dapat membangun jembatan komunikasi yang lebih kuat dengan pengguna kita, mendengarkan suara-suara ‘bisu’ mereka, dan pada akhirnya, menyediakan layanan yang lebih baik dan lebih responsif.
Mengenal Feedback Non-Verbal: Memahami Bahasa Tanpa Kata
Feedback adalah sebuah kata yang sangat familiar dalam dunia bisnis. Masalhnya, seiring berjalannya waktu, kita sering kali terjebak dalam pemahaman sempit bahwa feedback hanyalah komentar atau tanggapan langsung yang diberikan oleh pengguna. Padahal ada sebuah dimensi lain dari feedback yang kerap terlupakan namun memiliki kekuatan mendalam: feedback non-verbal.
Dalam konteks layanan IT dan UX, feedback non-verbal adalah setiap bentuk respons, reaksi, atau perilaku pengguna yang tidak diungkapkan dalam kata-kata saat berinteraksi dengan sistem atau layanan. Feedback jenis ini bisa bervariasi, mulai dari ekspresi wajah, durasi penggunaan suatu fitur, hingga kecepatan klik atau gerakan kursor.
Misalnya seorang pengguna yang berulang kali mengklik suatu tombol namun tidak mendapatkan respons yang diharapkan; atau seseorang yang tampaknya bingung saat mengakses menu tertentu. Tindakan-tindakan tersebut memberikan kita wawasan berharga tentang apa yang mungkin dialami atau dirasakan oleh pengguna, meski tanpa kata-kata.
Mengapa Feedback Non-Verbal Begitu Penting?
Pertama-tama, feedback non-verbal adalah manifestasi langsung dari emosi dan persepsi pengguna. Seringkali pengguna mungkin sungkan, tidak tahu bagaimana, atau bahkan tidak menyadari perlu untuk memberikan feedback verbal tentang pengalaman mereka. Namun perilaku dan reaksi mereka seringkali jujur dan tak terfilter, memberikan kita gambaran mentah tentang apa yang benar-benar terjadi.
Kedua, dengan memahami feedback non-verbal, perusahaan memiliki peluang emas untuk memperbaiki layanan atau produk sebelum menerima keluhan resmi atau negatif. Hal ini sejalan dengan prinsip proaktif dalam prinsip manajemen layanan (Service Management), di mana kita berupaya mendeteksi dan mengatasi masalah sebelum mereka menjadi krisis.
Ketiga, dalam dunia UX, memahami dan menghargai feedback non-verbal membantu kita merancang solusi yang lebih sesuai dengan kebutuhan dan harapan pengguna. Hal ini bukan hanya meningkatkan kepuasan pengguna, tetapi juga dapat meningkatkan retensi dan kesetiaan pelanggan.
Dalam era digital saat ini, di mana interaksi antar manusia dan teknologi menjadi semakin kompleks dan sering kali bersifat tidak langsung, memahami feedback non-verbal bukanlah hal yang opsional. Ini adalah kunci untuk mendekati, memahami, dan memenuhi kebutuhan pengguna dengan cara yang lebih holistik dan empatik.
Menghubungkan Feedback Non-Verbal dengan UX: Mendalaminya dengan Empati dan Kecerdasan
Feedback non-verbal, meski tidak selalu diucapkan dengan kata-kata, seringkali berbicara lebih keras dan jujur tentang apa yang dirasakan pengguna. Dan di sinilah User Experience (UX) memainkan perannya yang krusial, sebagai jembatan empatik yang menghubungkan teknologi dengan nuansa manusia. Untuk benar-benar memahami dan memanfaatkan feedback non-verbal, kita harus memahami perannya dalam dunia UX.
UX Sebagai Sarana Mengidentifikasi Feedback Non-Verbal
Dalam disiplin UX, pemahaman mendalam tentang pengguna adalah inti dari semua kegiatan desain dan evaluasi. Melalui berbagai metode riset pengguna, seperti pengujian kegunaan, observasi, dan analisis perilaku, UX dapat mengungkap petunjuk non-verbal yang memberikan wawasan berharga tentang bagaimana pengguna berinteraksi dan merasakan produk atau layanan.
Misalnya dalam konteks produk atau layanan berbais teknologi, ketika mengamati seorang pengguna menginteraksi dengan sebuah aplikasi, seorang praktisi UX mungkin memperhatikan bahwa pengguna tersebut sering ragu-ragu sebelum mengklik suatu fitur atau tampak frustrasi saat mencoba menemukan informasi tertentu. Meskipun pengguna mungkin tidak secara eksplisit menyatakan kebingungannya, tindakan dan reaksi mereka memberikan petunjuk kuat tentang area mana yang mungkin memerlukan perhatian dan perbaikan.
Contoh lainnya dalam konteks sebuah restoran (NON teknologi), ketika mengamati seorang pelanggan memeriksa menu, seorang manajer restoran mungkin memperhatikan bahwa pelanggan tersebut sering menggeser pandangannya antara beberapa pilihan menu atau tampak bingung saat mencoba memutuskan pesanan. Meskipun pelanggan mungkin tidak secara eksplisit menyatakan ketidakpastiannya, ekspresi wajah mereka dan lamanya waktu mereka memeriksa menu memberikan petunjuk kuat tentang bagian mana dari menu yang mungkin memerlukan klarifikasi atau presentasi yang lebih baik.
Studi Kasus #1: Menyelami Dunia E-commerce

Studi kasus pertama, mari kita soroti sebuah perusahaan e-commerce populer yang ingin meningkatkan tingkat konversi penjualannya. Meskipun banyak pelanggan mengunjungi situs mereka, hanya sedikit yang benar-benar menyelesaikan proses pembelian. Dalam upaya untuk memahami penyebabnya, tim UX perusahaan tersebut memutuskan untuk mengadakan sesi pengujian kegunaan.
Selama sesi tersebut, mereka mengamati bahwa sebagian besar pengguna tampak bingung saat mencoba menyelesaikan formulir pembayaran. Walaupun pengguna tidak secara verbal mengungkapkan kebingungannya, ekspresi wajah mereka, lamanya waktu pengisian, serta frekuensi mereka kembali ke langkah sebelumnya adalah indikator jelas bahwa ada masalah dengan proses tersebut.
Berdasarkan temuan non-verbal ini, tim UX dapat merekomendasikan perubahan desain untuk membuat proses checkout lebih intuitif dan ramah pengguna, akhirnya meningkatkan tingkat konversi.
Studi Kasus #2: Pelayanan Restoran Kelas Atas

Studi kasus kedua, mari kita soroti sebuah restoran mewah di pusat kota yang ingin meningkatkan kepuasan pelanggannya. Meskipun banyak pelanggan datang dan menikmati makanan di restoran tersebut, ada beberapa keluhan mengenai kecepatan pelayanan. Dalam upaya untuk memahami situasi tersebut, manajemen restoran memutuskan untuk mengadakan observasi langsung saat jam makan siang.
Selama observasi, mereka mengamati bahwa sebagian besar pelanggan tampak gelisah dan sering melirik jam tangan saat menunggu pesanan mereka. Meski pelanggan tidak secara verbal menyatakan ketidaksabarannya, bahasa tubuh mereka, frekuensi mereka melambaikan tangan untuk memanggil pelayan, serta ekspresi wajah yang tampak tidak nyaman adalah indikator jelas bahwa ada masalah dengan kecepatan pelayanan.
Berdasarkan temuan non-verbal ini, manajemen restoran dapat mengidentifikasi kebutuhan untuk meningkatkan efisiensi dapur atau menambah staf pelayan, dengan harapan dapat meningkatkan kepuasan pelanggan dan mengurangi waktu tunggu.
Teknik dan Alat dalam Mengidentifikasi Feedback Non-Verbal melalui UX
Dalam dunia yang semakin digital ini, memahami perilaku dan reaksi pengguna adalah kunci untuk menciptakan pengalaman yang memuaskan dan memenuhi kebutuhan mereka. Feedback non-verbal, meskipun seringkali diabaikan, bisa menjadi sumber informasi yang sangat berharga. Untungnya, kemajuan teknologi dan metodologi UX saat ini memungkinkan kita untuk menggali lebih dalam ke dalam feedback non-verbal ini, memberikan kita kesempatan untuk mendengar “bisikan” pengguna yang tak terdengar.
Alat dan Teknologi Pendukung
- Eye-tracking Technology: Salah satu alat paling efektif untuk menangkap feedback non-verbal adalah teknologi pelacakan mata atau eye-tracking. Alat ini dapat menunjukkan di mana pengguna menatap paling lama, apa yang mereka lewatkan, dan bagaimana pola pemindaian visual mereka. Dari sana, kita bisa memahami apa yang menarik perhatian mereka dan apa yang mungkin menyebabkan kebingungan.
- Facial Expression Analysis: Teknologi analisis ekspresi wajah memungkinkan kita untuk mendeteksi emosi pengguna secara real-time saat mereka berinteraksi dengan suatu produk atau layanan. Apakah mereka tampak frustrasi, kecewa, atau senang? Analisis ini memberikan kita wawasan tentang bagaimana perasaan pengguna selama interaksi.
- Heatmaps: Heatmaps menunjukkan di mana pengguna mengklik, bergerak, dan berinteraksi dengan sebuah halaman web atau aplikasi. Ini memberikan kita gambaran tentang bagian mana yang mendapatkan perhatian dan bagian mana yang diabaikan.
Metodologi UX untuk Mendapatkan Insight dari Feedback Non-Verbal

Observational Studies: Metode ini melibatkan pengamatan langsung terhadap pengguna saat mereka berinteraksi dengan produk atau layanan. Dengan memperhatikan tindakan non-verbal, seperti ragu-ragu sebelum mengambil keputusan atau ekspresi ketidakpuasan, tim UX dapat menarik kesimpulan tentang area mana yang mungkin perlu ditingkatkan.
- Think-Aloud Protocol: Meskipun metode ini melibatkan feedback verbal, kombinasinya dengan pengamatan non-verbal dapat memberikan wawasan yang mendalam. Dengan meminta pengguna untuk menyuarakan pikiran mereka saat berinteraksi, sambil juga memperhatikan tindakan dan reaksi non-verbal mereka, kita mendapatkan gambaran yang lengkap tentang pengalaman mereka.
- User Journey Mapping: Menggambarkan perjalanan pengguna dari awal hingga akhir interaksi, memperhitungkan semua titik sentuhan, emosi, dan hambatan yang mungkin mereka hadapi. Dengan menggabungkan data non-verbal, kita bisa mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang emosi dan tantangan di setiap tahapan perjalanan.
Implikasi Feedback Non-Verbal terhadap Service Management
Dalam dunia layanan, kepuasan pelanggan adalah segalanya. Baik di ranah IT atau di luar IT, mengidentifikasi dan merespon kebutuhan pengguna dengan cepat dan efisien adalah kunci keberhasilan jangka panjang. Di sinilah feedback non-verbal masuk sebagai sumber informasi yang sering kali terabaikan, namun memiliki potensi besar dalam mempengaruhi keputusan strategis dan memperkuat manajemen layanan.
a. Pengaruh Feedback Non-Verbal pada Keputusan dan Strategi
- Menyempurnakan Prioritas: Sebuah ekspresi kebingungan dari seorang pengguna, ragu-ragu saat memilih layanan, atau bahkan tindakan sederhana seperti meninggalkan proses sebelum selesai dapat menunjukkan kepada tim bahwa ada area yang memerlukan perhatian lebih. Dengan memahami ini, organisasi dapat menyesuaikan prioritas mereka untuk memfokuskan perbaikan pada area-area tersebut.
- Pengembangan Fitur Baru: Terkadang, pengguna mungkin memiliki kebutuhan atau keinginan yang tidak diungkapkan secara verbal. Mengamati perilaku mereka saat berinteraksi dengan layanan dapat memberikan petunjuk tentang fitur atau aspek layanan yang mungkin mereka cari, memandu tim dalam mengembangkan inovasi baru.
- Optimalisasi Proses: Feedback non-verbal bisa menjadi indikator bahwa proses tertentu dalam layanan mungkin terlalu rumit atau membingungkan. Dengan mengidentifikasi titik-titik hambatan ini melalui observasi, tim dapat melakukan perbaikan dan optimalisasi untuk memastikan pengalaman pengguna yang lebih mulus.
b. Manfaat Jangka Panjang dari Respons yang Tepat terhadap Feedback Non-Verbal
- Loyalitas Pelanggan: Saat organisasi merespon dengan cepat dan tepat terhadap feedback non-verbal, mereka menunjukkan komitmen pada kepuasan pengguna. Hal ini dapat meningkatkan kepercayaan dan loyalitas pelanggan, yang pada akhirnya berkontribusi pada retensi yang lebih baik dan referensi positif.
- Peningkatan Reputasi: Organisasi yang dikenal mendengarkan penggunanya, bahkan dalam hal feedback non-verbal, mendapatkan reputasi sebagai entitas yang peduli. Ini dapat membedakannya dari pesaing dan memposisikannya sebagai pemimpin di industri masing-masing.
- Efisiensi Operasional: Dengan memahami dan merespon feedback non-verbal, organisasi dapat menghindari pemborosan waktu dan sumber daya pada aspek layanan yang mungkin kurang relevan atau efektif. Sebagai gantinya, mereka dapat mengalokasikan sumber daya tersebut ke area yang memiliki dampak positif yang lebih besar bagi pengguna.
Studi Kasus: Sukses dengan Mendengarkan Feedback Non-Verbal
Mendengarkan tidak selalu tentang kata-kata yang diucapkan. Seringkali, nuansa halus dalam ekspresi, gerakan, atau bahkan kegagalan tindakan berbicara lebih keras daripada kata-kata itu sendiri. Di bawah ini, kita akan menggali dua studi kasus – satu di ranah IT dan yang lainnya di luar IT – yang menyoroti kekuatan pendekatan UX dalam menginterprestasi dan merespon feedback non-verbal untuk meningkatkan manajemen layanan.
Studi Kasus #3: Meningkatkan Portal Dukungan Teknis

Ketika TechGuard, sebuah perusahaan penyedia solusi keamanan siber meluncurkan portal dukungan teknis baru mereka, mereka berharap itu akan menjadi sumber daya utama bagi pelanggan yang mencari bantuan. Namun rupanya, setelah beberapa bulan setelah peluncuran, statistik menunjukkan bahwa sebagian besar pengguna meninggalkan portal tanpa menemukan jawaban yang mereka cari.
Melalui pendekatan UX, tim memutuskan untuk mengamati perilaku pengguna secara real-time saat mereka berinteraksi dengan portal. Meskipun banyak pengguna tidak meninggalkan komentar negatif, tim UX mengidentifikasi sejumlah perilaku non-verbal yang mengkhawatirkan. Banyak pengguna menghabiskan waktu lama mencari jawaban, beberapa mengklik berbagai topik sebelum akhirnya menyerah, sementara yang lain tampaknya frustrasi dengan navigasi portal.
Dengan mengidentifikasi area kritis melalui feedback non-verbal ini, TechGuard berhasil menggulirkan pembaruan yang membuat portal lebih intuitif, mengurangi frustasi pengguna, dan meningkatkan kepuasan pelanggan secara signifikan.
Studi Kasus #4: Pengoptimalan Layanan Perpustakaan

Universitas Cambridge, salah satu institusi pendidikan tertua dan paling bergengsi di dunia, selalu berupaya meningkatkan layanan bagi mahasiswanya. Pada suatu kesempatan, pihak universitas memperhatikan bahwa meski banyak mahasiswa yang mengunjungi perpustakaan pusat, sejumlah besar dari mereka tampak ragu-ragu saat mencari referensi atau bahan bacaan dan sering kali meninggalkan area tersebut tanpa membawa apa pun.
Tim yang mengelola perpustakaan memperhatikan berbagai tanda non-verbal dari mahasiswa: ekspresi wajah yang tampak bingung, lamanya waktu yang dihabiskan untuk mencari buku tanpa hasil, serta kerap kali berhenti dan melihat sekitar dengan ekspresi kehilangan arah.
Dengan memanfaatkan pendekatan UX, tim perpustakaan memutuskan untuk melakukan serangkaian perubahan. Mereka mengadakan sesi fokus group dengan sejumlah mahasiswa untuk mendalami permasalahan yang mereka hadapi. Berdasarkan feedback yang diterima, tim tersebut mengatur ulang tata letak rak buku sesuai dengan kategori yang lebih intuitif, memperkenalkan sistem penandaan yang lebih jelas, serta menghadirkan petugas khusus yang siap membantu mahasiswa dalam pencarian bahan bacaan.
Hasil dari perubahan ini sangat mengejutkan. Tidak hanya meningkatkan efisiensi waktu mahasiswa dalam mencari bahan bacaan, tetapi juga meningkatkan frekuensi peminjaman buku di perpustakaan.
Membangun Hubungan yang Kuat dengan Feedback Non-Verbal
Feedback non-verbal memberikan kita kesempatan langka untuk “mendengar” apa yang tidak diucapkan pengguna. Dengan memanfaatkan prinsip-prinsip UX, kita tidak hanya dapat mengidentifikasi feedback ini, tetapi juga memberikan solusi yang sesuai untuk meningkatkan pengalaman pengguna.